HomeHeadlineMungkinkah PDIP Makzulkan Jokowi?

Mungkinkah PDIP Makzulkan Jokowi?

Tak ada hujan, tak ada angin. Isu pemakzulan Presiden Jokowi tiba-tiba saja mencuat ke permukaan. Jokowi dianggap bertanggungjawab pada indikasi kecurangan-kecurangan Pemilu yang dituduhkan kelompok pengusung ide pemakzulan itu. Menariknya, isu ini mencuat karena diungkapkan oleh Menko Polhukam Mahfud MD yang adalah bawahan Jokowi, sekaligus kandidat cawapres yang diusung oleh PDIP – partai yang kini ada di seberang Jokowi.


PinterPolitik.com

Narasi pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mencuat setelah kelompok yang menamakan diri “Petisi 100” mendatangi Menkopolhukam Mahfud MD, meminta pemakzulan Jokowi sebelum Pemilu 2024. 

Seperti disebutkan di awal, isu kecurangan Pemilu menjadi fokus utamanya. Jokowi dianggap berkontribusi pada kecurangan Pemilu. Ini karena sang presiden memang terlihat “cawe-cawe” dan lebih menunjukkan keberpihakan politiknya pada pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Apalagi Gibran yang adalah putra sulung Jokowi, bisa terpilih menjadi cawapres karena proses gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai menyalahi etika kepemimpinan politik.

Dengan pisah jalannya Jokowi dari PDIP yang memilih mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD sebagai paslon di Pilpres 2024, tidak heran narasi soal pemakzulan ini punya nuansa politis yang jauh lebih kuat ketimbang kebutuhan dan kegentingan nasional.

Apalagi, menurut peraturan perundang-undangan, proses pemakzulan presiden harus melalui pengajuan DPR kepada MPR setelah MK memutuskan presiden bersalah.

Politisi PDIP, Puan Maharani selaku Ketua DPR RI, menanggapi isu ini dengan menyatakan bahwa pemakzulan memang menjadi aspirasi publik, meski tidak relevan dan tidak sesuai dengan mekanisme demokrasi yang berlaku di Indonesia. Puan juga mengingatkan soal kondusivitas jelang Pemilu.

Sementara itu, Yusril Ihza Mahendra, Ketua Umum PBB, menganggap gerakan pemakzulan oleh Petisi 100 sebagai langkah yang inkonstitusional dan berpotensi mengancam keberlangsungan Pemilu. Apalagi isu pemakzulan ini menarik perhatian publik dan menjadi topik hangat dalam diskusi politik nasional, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap stabilitas politik dan proses demokrasi di Indonesia.

Lebih jauh, banyak yang menilai bahwa isu pemakzulan Jokowi bisa jadi alat PDIP untuk “menekan” pengaruh Jokowi, utamanya menjaga peluang partai banteng itu memenangkan kontestasi Pilpres di 2024 mendatang. Benarkah demikian?

Baca juga :  Rumah Jokowi “Diseruduk” Banteng?
snapinsta.app 418456118 788754856623043 4104114795335148070 n 1080

Sekutu Berubah Lawan

Dalam konteks pemanfaatan isu pemakzulan Jokowi – katakanlah jika itu benar-benar digunakan oleh PDIP – bisa dipastikan bahwa hal ini menunjukan relasi yang sudah ada di level ekstrem antara Jokowi dengan PDIP. Bukan tanpa alasan, karier politik Jokowi memang sangat ditentukan oleh PDIP sejak maju menjadi Gubernur DKI Jakarta dan kemudian Presiden RI. Jokowi dan PDIP bisa dibilang telah berubah dari sekutu menjadi lawan.

Dalam panggung politik, aliansi dan perubahan hubungan antar aktor politik adalah fenomena yang tak terhindarkan. Perubahan teman menjadi lawan dalam politik seringkali menjadi bagian integral dari evolusi politik.

Pergeseran ini dapat terjadi pada tingkat lokal, nasional, atau bahkan internasional, mempengaruhi dinamika kebijakan dan kekuasaan. Beberapa faktor utama yang dapat menyebabkan perubahan ini termasuk perbedaan pandangan ideologis, persaingan kepentingan politik, dan perubahan dalam lingkungan politik.

Perubahan relasi ini bisa dilihat dalam beberapa kaca mata. Dalam teori realisme politik misalnya, persaingan kepentingan dan kekuasaan antar aktor politik kerap disorot. Perubahan teman menjadi lawan dapat dipahami sebagai hasil dari pergeseran kepentingan yang bertentangan atau strategi real politik yang berubah.

Jokowi dan PDIP kini telah punya kepentingan politik yang berbeda. Dengan demikian menjadi kewajaran jika pada akhirnya hubungan keduanya berakhir.

Sementara dalam konteks hubungan sosial dan politik, teori konflik sosial menekankan ketidaksetaraan dan pertentangan antar kelompok yang bisa menjadi dasar perubahan relasi teman menjadi lawan. Perubahan hubungan politik mungkin muncul dari ketidakpuasan salah satu pihak terhadap distribusi kekuasaan atau sumber daya yang tidak merata.

Alasan lain bisa dilihat dari sudut pandang perbedaan ideologis. Ketika teman berubah menjadi lawan, ini mungkin mencerminkan pergeseran dalam pemahaman dan prioritas ideologis di antara aktor politik – meskipun variabel ini sepertinya sulit dilihat dalam kasus Jokowi dan PDIP.

Kemudian, perubahan relasi Jokowi dan PDIP bisa juga dilihat dalam konteks pergantian elite. Situasi ini menyiratkan bahwa perubahan dalam kekuasaan politik seringkali terjadi melalui rotasi kelompok elite atau pemimpin. Perubahan teman menjadi lawan dapat muncul ketika ada perubahan dalam struktur kekuasaan politik.

Baca juga :  The War of Java: Rambo vs Sambo?

Jokowi dulunya bukan elite politik. Ia bukan ketua partai, bukan berlatar militer, dan bukan sosok konglomerat ekonomi. Namun, kini ia telah menjadi salah satu elite politik paling kuat di Indonesia. Selain itu, telah terjadi banyak perubahan struktural yang signifikan dalam tata kelola politik. Pergeseran sistem politik atau reformasi institusi dapat menciptakan dinamika baru yang mengubah hubungan antara aktor politik, termasuk antara PDIP dan Jokowi.

Dan faktor terakhir yang bisa menjadi alasan perubahan hubungan politik Jokowi dan Megawati bisa juga bisa dipahami sebagai hasil dari kelelahan politik. Pihak yang awalnya bersatu mungkin kehilangan kepercayaan terhadap teman politiknya karena kegagalan kebijakan, ketidakpuasan masyarakat, atau hilangnya rasa saling menghormati.

Well, narasi “petugas partai”, atau “kasihan Pak Jokowi kalau tanpa PDIP” yang kerap diumbar Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri sangat mungkin membuat Jokowi “lelah” dalam hubungan keduanya.

Perubahan teman menjadi lawan dalam politik dapat memiliki dampak yang signifikan pada stabilitas politik dan kebijakan publik. Ketidakstabilan politik dapat merugikan efisiensi pemerintahan dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik. Walaupun demikian, fenomena ini tentu sulit untuk dihindari dan selalu pasti bisa terjadi.

kritik lantang megawati soal hukum.jpg

PDIP dan Siasat Pemakzulan Jokowi

Isu pemakzulan memang sarat nuansa politis. Selain karena kemunculannya di jelang 1 bulan sebelum Pemilu, tetapi juga karena situasi yang menuntut terjadinya pemakzulan itu tidak benar-benar genting.

Memang benar hal ini akan kembali pada posisi partai politik dan DPR. Namun, di kondisi saat ini, sulit melihat pemakzulan akan benar-benar terjadi. Selain karena koalisi pendukung Jokowi menjadi yang mayoritas di DPR, isu ini sepertinya hanya akan jadi sentimen yang muncul sesaat untuk menekan posisi Jokowi secara politik.

PDIP mungkin menjadi partai yang paling mungkin mendorong isu ini, katakanlah jika benar-benar ingin menjaga peluang kembali memenangi kursi di Pilpres 2024. Namun, bisa jadi isu ini malah akan menjadi boomerang juga jika tidak dikelola dengan baik. Pasalnya, Jokowi punya approval rating yang tinggi. Artinya, masyarakat masih sangat menyukai kepemimpinan mantan Wali Kota Solo itu.

Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pemerintahan Prabowo Subianto siapkan sejumlah strategi untuk tingkatkan investasi dan SDM. Mungkinkah Prabowo siap untuk “lompat katak”?

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

More Stories

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.